Kisah Para Rasul 11:1-18

“Jadi jika Allah memberikan karunia-Nya kepada mereka

sama seperti kepada kita pada waktu kita mulai percaya

kepada Yesus Kristus,

bagaimanakah mungkin aku mencegah Dia?”

(Kis. 11:17)

 

 

 

Saling menghakimi telah menjadi semacam gaya hidup manusia zaman sekarang. Semua orang dididik untuk bersaing dan melihat orang lain sebagai ancaman. Akibatnya, kita senang jika orang lain susah dan kita susah jika mereka senang. Mereka pun demikian juga.

 

 

Keputusan Petrus untuk setia kepada Tuhan dalam memberitakan Injil kepada Kornelius menjadi persoalan tersendiri di Yerusalem. Persoalan datang dari orang-orang Yahudi yang baru percaya, tetapi masih terikat pada adat-istiadat keyahudian. Mereka menganggap jika pelayanan kepada golongan tidak bersunat merupakan kesalahan besar. Mereka masih menganggap bangsa mereka lebih unggul (eksklusif) daripada yang lain. Petrus mengajar dan menjelaskan maksud Allah bagi semua golongan. Jika mereka yang jahat, bahkan lebih jahat daripada bangsa-bangsa lain dapat dipanggil oleh Tuhan menjadi umat-Nya, itu semata-mata kemurahan hati Allah, bukan kebaikan mereka. Jika kemurahan hati Tuhan menjadikan mereka umat-Nya, bukankah Tuhan juga berhak memanggil bangsa-bangsa lain dengan kemurahan hati yang sama? Siapakah kita yang dapat melarang karya Tuhan untuk menyatakan kemurahan hati-Nya kepada orang lain?

 

 

Youth, kesombongan karena merasa diri lebih baik dari pihak lain pada akhirnya menyebabkan kuasa dan karya Tuhan jauh dari hidup kita. Dalam hal inilah, kehadiran kita sebagai umat Tuhan bukan menjadi jembatan yang memperjumpakan orang lain dengan Tuhan, melainkan menjadi batu sandungan yang menyebabkan orang lain makin jauh dari Tuhan. Jika kita telah mengalami kemurahan Tuhan, salurkan itu kepada orang lain juga.

 

 

1. Bagaimana pandangan Petrus tentang kemurahan Allah?
2. Sebagai batu sandungan atau jembatankah pada saat Anda menyatakan Kristus kepada orang lain?

 

 

Pokok Doa: Tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain.